Sejarah Kelahiran
Credit Union (CU)
Credit Union
(CU), diambil dari bahasa Latin “Credere” yang artinya percaya dan “Union” atau
“Unus” berarti kumpulan. Sehingga “Credit Union” memiliki makna kumpulan orang
yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu yang sepakat untuk
menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan
kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.
koperasi
jasa keuangan bertujuan tidak mencari keuntungan, kepemilikannnya dimiliki
anggota, menyelenggarakan tabungan, pinjaman dan pelayanan keuangan lainnya
kepada para anggotanya.
Keanggotaan Credit
Union berdasarkan pada ikatan kebersamaan, merupakan sebuah pertalian
hubungan antara penabung dan peminjam yang sama-sama menjadi anggota komunitas
organisasi, lembaga keagamaan atau kesatuan tempat kerja tertentu.
Credit Union mengumpulkan simpanan tabungan dan
saham para Anggotanya untuk mendanai pinjamannya daripada menggantungkan diri
pada sumber keuangan dari luar. Anggota mendapat keuntungan sebagai pemilik
Credit Union dari balas jasa simpanan yang tinggi, balas jasa pinjaman yang
lebih rendah dan dengan rerata biaya yang lebih sedikit.
Lahirnya Credit Union
Sesungguhnya
gerakan yang mirip dengan CU pertama kali dimulai oleh para pekerja dan penenun
Rochdale di England yang membentuk koperasi konsumtif secara demokratis pada
tahun 1840. Kemudian pada tahun 1852 dan 1864, koperasi ini dikembangkan oleh
Hermann Schulze-Delitzsch dan Friedrich Raiffeisen menjadi gerakan Credit Union
di Jerman.
Adapun
perihal kenapa CU didirikan, yakni dilatar belakangi kala itu pada tahun
1846-1847 Jerman dilanda krisis ekonomi akibat gagal panen. Kondisi masyarakat
Jerman benar-benar terpuruk pada saat itu. Terjadi musibah kelaparan dan musim
dingin yang hebat. Penyakit banyak menyerang mereka. Kehidupan menjadi sangat
kacau. Para petani yang menggantungkan pada kemurahan alam dibuat tidak berdaya
sama sekali.
Salah seorang pejabat local setempat yang bernama Henry Wolff, menggambarkan
kondisi para petani saat itu sebagai “Dunia Tak Berpengharapan”. Miskin tak
berdaya dan pertanian berantakan. Masyarakat tidak memiliki uang untuk membeli
mesin pertanian, pupuk, bibit atau membangun peternakan untuk meningkatkan
pendapatan. Petani adalah korban yang paling menderita akibat kala itu.
Masyarakat
dari pedesaan pun bermigrasi secara
besar-besaran ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka yang
datang ke Kota ini bukanya makin sejahtera, malahan sebaliknya banyak diantara
mereka yang hidup miskin.
Kebanyakan
mereka bekerja sebagai kuli bagi kaum kaya dengan upah seadanya dan jauh dari
kata layak. Namun, ada juga sebagian dari mereka yang mencoba membuka usaha.
Modalnya bersumber dari meminjamkan uang kepada kaum lintah darat
atau rentenir.
Uang yang dipinjam
tersebut bunganya yang sangat tinggi. Disamping itu mereka meminta jaminan atas
lahan pertanian mereka. Apabila mereka gagal membayar pada saat jatuh tempo
maka tanah pertanian dan harta benda lain yang mereka gadai langsung disita.
Bahkan sering terjadi harta benda para petani juga menjadi incaran para lintah
darat . Kehidupan para petani pada waktu itu ibarat “gali lobang tutup lobang,
tutup hutang lama, cari hutang baru.”
Kian hari
kondisi kehidupan masyarakat bukannya lebih baik, malahan semakin menderita.
Terjadi kontras antara yang kaya dan yang miskin. Dimana yang miskin tetap
termarginalkan dan yang kaya semakin kaya.
Kondisi
petani yang demikian menimbulkan keprihatinan dan menggugah hati seorang
Walikota Flammersfield, dialah Friedrich Wilhelm Raiffeisen yang kala itu
menjabat sebagai Walikota pada tahun
1849.
Untuk
mengatasi hal ini sang Walikota mengumpulkan para pengusaha, kaum kaya dan para
dermawan sebanyak 60 orang. Mereka lalu mendirikan Perkumpulan yang dinamakan
Perkumpulan Masyarakat Flamersfeld. “Kaum miskin harus segera ditolong,” begitu
kata Raiffeisen. Seruan sang Walikota pun ditanggapi positif oleh kalangan
pengusaha, kaum kaya dan dermawan.
Singkatnya
dana pun terkumpul, kemudian dijadikan sebagai dana bagi para petani untuk
modal membuka usaha. Dan sang Walikota pun berkeyakinan cara yang dilakukannya
itu akan sangat bisa membantu mengatasi kemiskinan.
Sejumlah
dana pun banyak terkumpul dan kemudian disalurkan kepada para petani yang
miskin. Namun apa yang terjadi, bukannya untuk menolong tetapi malahan
dihambur-hamburkan sehingga tidak terkontrol dengan baik. Dan sejumlah uang
yang diberikan tersebut tidak pernah cukup. Dan para pengusaha, kaum kaya raya
dan dermawan pun enggan lagi memberikan uang.
Meski
demikian Friedrich Wilhelm Raiffeisen
tidak patah arang. Strategi baru pun sudah disiapkannya buat mengatasi keadaan
sebelumnya. Ia pun mencetuskan ide agar mengumpulkan roti, maka Raiffeisen pun
kemudian mendirikan Brotveiren, yakni suatu kelompok yang membagi-bagikan roti
kepada kaum miskin.
Tidak hanya
itu, Raiffeisen kemudian mendirikan pabrik roti. Pabrik ini menjual roti kepada
orang yang tidak mampu dengan harga murah. Raiffeisen juga mendirikan
perkumpulan yang bertugas meminjamkan uang dan membeli bibit kentang kepada
petani. Tetapi hal itu ternyata juga tidak menyelesaikan masalah kemiskinan
secara permanen. Kesimpulannya “Hari ini diberi, besok sudah habis” begitu
seterusnya.
Raiffeisen
kemudian pindah ke Heddersdoff dan menjabat lagi menjadi walikota (1852-1865).
Dikota ini dia juga mendirikan perkumpulan yang dinamakanHeddesdorfer Welfare
Organization, yakni suatu organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan
pendidikan. Kemudian organisasi ini dikenal luas oleh masyarakat.
Walaupun pengorganisasiannya berhasil tetapi kemudian muncul berbagai kendala.
Para penanam modal dari kaum kaya mulai luntur semangatnya, karena keuntungan
organisasi tersebut tidak mereka rasakan. Reiffeisen terus memperbaiki dan
menyempurnakan gagasan terutama mengenai prinsip dan metode pengorganisasian
masyarakat.
Akhirnya ia
mengganti pendekatan dari pendekatan derma dan belas kasihan dengan PRINSIP
MENOLONG DIRI SENDIRI (selfhelp).
Raiffeisen selalu menyatakan bahwa ada hubungan antara kemiskinan dan
ketergantungan. Untuk menghapus
kemiskinan, seseorang harus melawan ketergantungannya.
Ia pun
mempopulerkan apa yang dikenal dengan
formula Tiga S : Self-Help, Self-Governance, Self-responsibility (menolong
diri, memerintah sendiri, bertanggungjawab sendiri). Kebebasan atas
ketergantungan dari pemberian, dari politik dan dari tengkulak.
Manajemen
Heddesdorfer Credit Union dijalankan secara demokratis dengan cara:
1. Setiap anggota berpartisipasi
dalam rapat anggota.
2. Satu anggota satu suara.
3. Para anggota memilih pengurus dan
membuat pola kebijakan bersama.
4. Dipilih suatu badan yang disebut dengan
pengawas.
5. Pengawas bertugas mengawasi kegiatan
Credit Union dan membuat
laporan pengawasan kepada
rapat anggota
6. Raiffeisen menekankan kerja sukarela
kepada Pengurus dan Pengawas Yang boleh
menerima imbalan hanyalah
kasir purnawaktu yang menjalankan
operasional.
Federasi Credit Union di ASIA
1. Bangladesh, CCULB-The Cooperative Credit
Union League of Bangladesh ltd
2. Hongkong, CULHK-Credit Union League
of Hong Kong
3. Indonesia , CUCO- Credit Union
Counselling Office (namun dalam perjalanan
waktu berganti nama menjadi
BK3I-Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Indonesia lalu berganti lagi dengan
nama INKOPDIT-Induk Koperasi Kredit)
dengan alamat website masih menggunakan CUCO.
4. Jepang , JCU - Japan Credit Unions
5. Korea, NACUFOK - National Credit
Union Federation of Korea
6. Malaysia, WCCS - Workers Credit
Co-operative Society Ltd. Malaysia
7. Nepal, NEFSCUN - Nepal Federation of
Savings and Credit Cooperatives
Union
8. Papua New Guinea , FESALOS - Federation of Savings & Loan Societies PNG
9. Philippines,
a. NATCCO - National Confederation
of Cooperatives
b. PFCCO - Philippine Federation of
Credit Cooperatives
10. Republic of China Taiwan, CULROC - Credit Union League of the Republic of
China Taiwan
11. Sri Lanka , SANASA - Federation of Thrift & Credit Cooperative
Societies Sri
Lanka
12. Thailand ,
a. CULT - Credit Union League of
Thailand
b. FSCT - Federation of Savings and
Credit Cooperatives of Thailand
13. Vietnam, CCF - Central People’s Credit Fund - Vietnam
Kelahiran Credit Union di Indonesia
Menyebut CU
di Indonesia tidak terlepas dari sosok seorang yang bernama lengkap Carolus
Albrecht, SJ, atau yang lebih dikenal dengan nama Karim Arbie ;Seorang pastor
kelahiran Altusried, Augsburg, Jerman
Selatan, pada 19 April 1929. Beliau ditugaskan ke Indonesia pada
Desember 1958, bermula di Girisonta, Jawa Tengah lalu kemudian ke Jakarta dan
Semarang.
Gereja
Katolik menyadari dan memandang pentingnya pemberdayaan ekonomi kerakyatan oleh
karena itu pastor Albrecht, SJ, dan pastor Frans Lubbers, OSC,ditugaskan
mengembangkan CU se-Indonesia bersama
Delegasi Sosial (Delsos). Beragam cara dilakukan guna mensosialisasikan gerakan
CU ini.
Berkat
perjuangan dan kerja keras Karim Arbie dan kawan-kawan, CU berkembang ke
berbagai wilayah di Indonesia. Pada tahun 1990 disaat usia beliau menginjaki 61
tahun ditugaskan ke Timor-Timur. Situasi konflik sedang melanda eks provinsi
ke-27 Indonesia ini. Beliau ditembakki orang tak dikenal di Dilli, Timor Leste.
Gugurlah pahlawan CU Indonesia ini dengan meninggalkan mutiara berharga bagi kemajuan gerakan CU
sampai kini.
Namun
seperti apa saja sesungguhnya sejarah gerakan CU di Indonesia? Sudah masuk
sejak kapankah? Gerakan CU di Indonesia bermula dari massa pemerintahan
Presiden Soekarno. Namun belumlah dipraktekkan dan penerapan dengan sepenuhnya
karena situasi perekonomian yang morat-marit. Hingga akhirnya massa orde baru
pun tiba.
Tak jauh
berbeda, situasi perekonomian pun belumlah stabil, maka kemudian ada kerinduan
untuk menggerakkan perekonomian rakyat dengan bentuk koperasi. Dan salah
satunya Credit Union yang menjadi pilihan itu. Adapun pun tahap perkembangan
tersebut akan dibagi dua, yakni di massa Orde Lama dan massa Orde Baru.
1. Credit
Union di Massa Orde Lama
Gerakan
Credit Union atau Koperasi Simpan pinjam sebenarnya sudah masuk ke Indoneia
pada tahun 1950, dibawa beberapa sukarelawan yang sudah mendirikan usaha-usaha
simpan pinjam menurut prinsip Raiffeisien. Pemerintah Indonesia juga sudah pula
menjalankan koperasi kredit dengan memakai sistem yang sama sejak tahun 1955
sama dengan tahun 1959.
Pada
permulaan tahun 1960-an terjadi musibah dimana terjadi gejolak inflasi melanda
negara Indonesia yang sangat hebat. Banyak usaha yang bergerak dibidang simpan
pinjam menjadi tak berdaya, sebabnya karena tidak bisa menentang inflasi yang
kian melaju.
Koperasi-koperasi
tersebut akhirnya banyak yang berputar haluan menjadi koperasi Konsumsi. Uang
merupakan media yang dijadikan spekulasinya. Maka kemudian koperasi ala
Raiffeisen ini tidak terdengar lagi gaungnya. Dan yang banyak bermunculan
justru Koperasi Serba Usaha (KSU).
2. Credit
Union di Massa Orde Baru
Seiring
perjalanan waktu tampuk kepemimpinan kepala negara pun berubah. Pemerintahan
Soekarno pun lengser, Indonesia memasuki perode baru yang dinamakan massa Orde
Baru. Ada satu hal yang berbuah positif, yakni kondisi perekonomian perlahan-lahan
membaik dan stabil. Hal ini mulai terlihat dan dirasakan pada tahun 1967.
Kala itu
penggerak ekonomi masyarakat mulai memikirkan konsep perekonomian yang cocok
bagi kalangan masyarakan ekonomi menengah kebawah. Dan koperasi kredit dianggap
yang paling cocok diterapkan di Indonesia.
Gaung pun
bersambut, maka kemudian di undanglah pihak WOCCU atau Dewan Dunia Koperasi
Kredit ke Indonesia. Undangan tersebut sangat ditanggapi positif oleh pihak
WOCCU. Tak tanggung-tanggung mereka mengirimkan salah satu tenaga ahlinya,
yaitu Mr. A.A Baily.
Setelah
diadakan pertemuan itu, didiskusikanlah kemungkinan dikembangkannya gagasan CU
di Indonesia sebagai sarana sekaligus wahana pengentasan masyarakat marginal.
Sebagi tindak lanjut, beberapa orang mengadakan study circle secara perodik di
Jakarta.
Dan akhirnya
bersepakat membentuk wadah bernama Credit Union Counselling Office (CUCO) pada
awal Januari 1970 dipimpim oleh K. Albrecth Karim Arbie, SJ, untuk memimpin
kegiatan operasionalnya. Pada tahun 1971 Drs. Robby Tulus diangkat sebagai
Managing Director.
CUCO ini
antara lain berfungsi memberikan konsultasi, menyediakan bahan dan program
pelatihan, menyelenggarakan kursus-kursus, menyebarkan informasi serta merintis
Badan Koordinasi Koperasi Kredit.
Untuk mendapatkan
legalitas dari pemerintah, CUCO,
Direktur Jendral Koperasi,
Departemen Tenaga Kerja , transmigrasi dan koperasi yang pada masa itu
dijabat oleh Ir. Ibnoe Soedjono. Tanggapan positif pun datang dari Direktur
Jenderal Koperasi dengan memberikan massa Inkubasi selama 5 tahun kepada CUCO
untuk mengembangkan gagasan gerakan Kredit Union di Indonesia.
Massa
Inkubasi pun berakhir dengan diadakannya Konferensi Nasional Koperasi Kredit
(KNKK) di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada bulan Agustus 1976. Konferensi
ini juga dihadiri oleh Ir. Ibnoe Soedjono sebagai Direktur Jenderal Koperasi.
Sejak itulah secara Nasional nama Koperasi Kredit di ganti dengan Credit Union.
Selaku
kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Koperasi, dan kemudian diberikan restu
kepada CUCO untuk melanjutkan kegiatan mengembangkan Credit Union di Indonesia
dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan – ketentuan dalam UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok
Perkoperasian di Indonesia.
Tahun 1981
diselenggarakan Konferensi Nasional Koperasi Kredit Indonesia, dimana dibentuk
organisasi baru bernama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dengan kepengurusan yang dipilih secara
demokratis, terpilih sebagai ketua Drs. Robby Tulus. Terjadi pergantian nama
dan sifat organisasi.
Biro Konsultasi
Koperasi Kredit (BK3) atau Credit Union Counselling Office (CUCO) menjadi Badan
Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) atau Credit Union Coordination of
Indonesia (CUCO Indonesia) dan untuk daerah menjadi BK3D (Badan Koordinasi
Koperasi Kredit Daerah).
Peran CUCO
inilah sebagai cikal bakal berkembangnya CU diberbagai daerah di Indonesia,
mereka banyak memberikan pelatihan di berbagai wilayah untuk mengembangkan
gagasan CU.
Saat ini
BK3D berubah nama menjadi BKCU dan BK3I berubah menjadi Inkopdit. CU pertama
kali didirikan di Indonesia, yaitu CU Kemuning yang berada di Bandung, Jawa
Barat. CU ini berdiri pada tanggal 7 Desember 1970, Sepuluh bulan kemudian
tepatnya pada tanggal 20 oktober 197 berdiri juga CU Swapada di Jakarta dan
merupakan CU pertama di Jakarta.
Hingga kini
CU Swapada masih berdiri, namun CU Kemuning tidak tau lagi perkembangan nya.
Hal ini disebabkan tidak ada lagi informasi yang dapat di gali tentang
keberadaan CU ini.
Kehadiran
koperasi, termasukseperti credit union,
terbukti mampu membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
“Koperasi secara nyata berkontribusi dalam peningkatan perekonomian masyarakat.Apalagi
koperasi terbukti tahan banting dan mampu menghadapi badai krisis ekonomi,”(DR.
HM. Suryo Respationo, Wakil Gubernur Kepulauan Riau)
“BKCUK
adalah mitra Pemerintah Kalbar dalam mengentaskan kemiskinan.”
(Ignasius IK, Kadis Koperasi dan UKM Kalbar).
CU adalah penggerak perekonomian
daerah.(Pemerintah Kalimantan Barat, tambah Ignasius)”berharap agar insan-insan
credit union mendirikan koperasi-koperasi sektor riil agar semakin banyak lagi
menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan .”
Hasil nyata gerakan credit union dalam mengentaskan
kemiskinan dapat dilihat dari semakin banyaknya orang yang menjadi anggota CU.
“Dengan makin banyaknya orang bergabung CU berarti orang merasakan manfaat
ber-CU.(Marselus Sunardi, Ketua Puskopdit BKCUK.)
CU bukan semata-mata bisnis keuangan tetapi CU adalah sekolah kehidupan dimana anggotanya dituntut selalu
solider, saling berbagi, bergotong-royong mewujudkan kesejahteraan yang
berkeadilan. “Tidaklah baik kalau kita sejahtera sendiri saja,”
Menurut
laporan pertanggungjawaban pengurus
BKCUK, dalam tahun buku 2012 total anggota individu 380.700 kehidupan dimana anggotanya dituntut selalu solider, saling
berbagi, bergotong-royong mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. “Tidaklah
baik kalau kita sejahtera sendiri saja.
anggota CU
primer 45 CU; asset Rp.4,1 triliun; pinjaman beredar Rp.3,1 triliun; dana
cadangan Rp.118 miliar; saham anggota Rp 447 miliar; simpanan non saham Rp 3,1
triliun; pendapatan Rp 569 miliar; biaya Rp 542 miliar; sisa hasil usaha Rp 26
miliar.
BKCUK patut berbangga karena dari 100
koperasi terbesar di Indonesia versi Kementerian Koperasi dan UKM ada 14 CU
dalam naungan BKCUK. Dalam tahun
berikutnya BKCUK berharap makin banyak CU yang masuk 100 koperasi besar.
Secara nasional BKCUK bertekad mensukseskan target nasional gerakan CU yakni 10
juta anggota dengan asset 100 triliun pada tahun 2020.
Menurut
Frans Laten(General Manajer BKCUK) ”perkembangan pesat CU-CU dalam naungan
BKCUK tersebut karena kerja keras pengurus, pengawas, manajemen;
pelatihan-pelatihan keterampilan; melakukan invonasi; penerapan teknologi serta
kerja sama yang baik antara CU primer dan sekunder.”
Menurut
Romanus Woga(Ketua Induk Koperasi Kredit Indonesia ) “memberikan apresiasi yang
tinggi kepada Puskopdit BKCUK yang telah memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan gerakan CU di Indonesia.”
“Puskopdit
BKCUK adalah Koperasi Kredit sekunder terbesar di Indonesia. Semoga makin
berkembang agar makin banyak orang sejahtera, semakin banyak rakyat miskin yang
dientaskan,”
gerakan CU agar menerapkan unitas, karitas dan veritas. Yakni CU harus bersatu
dan bekerja sama, melayani anggota, dan berkeadilan.
Sebelum RAT
yang bertemakan “Memperkokoh gerakan credit union Kalimantan berbasis komunitas
menuju credit union sehat yang berkelanjutan” ini dilaksanakan lokakarya
tentang penguatan kelembagaan, perempuan, pemuda dan IT, revisi anggaran dasar
dan rumah tangga, serta sharing pengalaman.
Sharing pengalaman menampilkan keberhasilan tiga CU besar dari:
a. Kalbar (CU Khatulistiwa Bakti)
b. Kalteng (CU Betang Asi) dan
c. Sulawesi Selatan (CU Sauan Sibarung).
RAT diikuti
400 orang peserta dan peninjau.
Peserta adalah tiga orang utusan dari 45 CU :
- pengurus
- pengawas,
- manajemen.
Peninjau adalah calon anggota baru, unsur pengurus, pengawas dan manajemen CU,
perwakilan dari :
- Puskopdit Borneo
- Univeritas Gunadharma,
- Universitas Putra Batam dan lainnya.
Secara umum
program kerja pengurus tahun buku 2012 tercapai 75 persen dan menurut analisis
PEARLS dikategorikan Sehat.
Kinerja Pengurus BKCUK tahun buku 2012 selain diawasi dan dinilai pengawas
internal tetapi juga diaudit oleh auditor independen dari kantor akuntan publik
Sardjono Budi Sudahrnoto dan diaudit Indkopdit.
Menurut ketiga lembaga pengawas/audit ini, selama tahun buku 2012 secara umum
Puskopdit BKCUK dalam kondisi Sehat.
“laporan keuangan Puskopdit BKCUK disajikan secara wajar dalam semua material,
posisi keuangan Puskopdit BKCUK tanggal 31 Desember 2012 dan hasil usaha serta
arus kas untuk tahun 2012 sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP),”auditor independen dalam laporan
tertulisnya.
BKCUK adalah satu-satunya Credit Union
sekunder di Indonesia yang anggotanya tersebar di seluruh Indonesia.
Yakni di Kalimantan Barat, Timur,
Tengah, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua, NTT.
CU-CU tersebut adalah: Khatulistiwa Bakti, Stella Maris, Kingmi, Usaha
Kita, Bonaventura, Tilung Jaya, Sabhang Utung, Pancur Dangeri, Kusapa, Jembatan
Kasih, Filosofi Petani PanncurKasih, Manteare, Betang Asi, Almendo, Daya
Lestari, Mambuin, Sempekat Ningkah Olo, Sinar Saron, Femung Pebaya, Mototabian,
Remaung Kecubung, Kasih Sejahtera, Sumber Rejeki, Mekar Kasih, Hati Amboina,
Ndar Sesepok, Sauan Sibarrung, Likku Aba, Bahtera Sejahtera, Gerbang Kasih.
Dalam RAT kali ini diterima dua CU baru sebagai anggota BKCUK.
Yakni CU Muara Kasih (Pontianak) dan CUMI Pelita Kasih (Jakarta).
Kalbar patut berbangga karena CU model Kalimantan ini diakui keberhasilannya
dan dicontoh daerah lain.
Dalam misa
penutupan RAT Uskup Pangkal Pinang (Mgr.Hilarius Moa Nurak,SVD )
“berpesan kepada pengurus, pengawas dan manajemen credit union agar tetap
memprioritaskan menolong warga, komunitas basis agar mampu bangkit dari
kemiskinannya.”
“Credit Union adalah bentuk nyata karya
kita untuk kemanusiaan yang universal tanpa sekat-sekat perbedaan agama, suku,
ras maupun golongan,”
Di berbagai
tempat kehadiran CU terbukti mampu mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik.
Semoga semakin banyak orang yang menjadi anggota CU.*
“(Edi
V.Petebang, dari Batam,Kepri)”